Senin, 03 Juni 2013

Membangun Iklim Komunikasi Keluarga

Mengapa seorang remaja putra membentak atau mengancam ibunya yang tidak mengabulkan permintaannya membeli sepeda motor?

Mengapa seorang ayah menganiaya anak balitanya yang rewel?

Mengapa dalam keluarga lain seorang ibu bercengkerama penuh canda dan kelembutan tentang reproduksi dengan putrinya yang remaja? 


Komunikasilah salah satu faktor yang mempengaruhi suasana ini. Jika komunikasi baik, akan tercipta suasana yang akrab dan ceria. Pun sebaliknya. Lantas, bagaimanakah agar tercipta komunikasi yang baik antara anggota keluarga, khususnya antara orangtua dengan anak-anak?

Satu syarat mutlak; dalam keluarga harus terdapat iklim komunikasi yang kondusif. Iklim komunikasi adalah kualitas pengalaman subjektif para anggota keluarga berdasarkan persepsi-persepsi atas ciri-ciri keluarga yang relatif langgeng, seperti perhatian, kepercayaan, kejujuran, keterusterangan, komitmen, dan kerjasama antara anggota keluarga. 

Hanya dalam keluarga dengan iklim komunikasi demikian, jati diri anak yang positif akan tumbuh dan berkembang. Seorang anak akan memiliki kepercayaan diri yang kuat, berani, mandiri, santun, dan sifat-sifat positif lainnya. 

Sebaliknya, jika anak sering disebut bodoh, nakal, malas, anak pun sangat boleh jadi akan memiliki sifat seperti itu. Banyak penelitian menunjukkan bahwa julukan yang diberikan, terutama oleh keluarga, akan menimbulkan nubuat yang dipenuhi sendiri (self-fulfilling prophecy). 

Seorang anak mungkin tidak dapat mengerjakan PR matematika-nya karena ia sering disebut bodoh setiap ia melakukan kesalahan, meskipun sebenarnya kecerdasan (IQ)-nya memadai. Ketidakmampuannya itu lebih disebabkan oleh ketidakpercayaan dirinya dalam menyelesaikan soal tersebut. 

Memang, fungsi utama komunikasi dalam keluarga adalah fungsi sosial dengan tujuan terpenting pembentukan jati diri anak, selain fungsi-fungsi lainnya, misalnya fungsi ekspresif (untuk menyatakan perasaan) dan fungsi instrumental (untuk mencapai tujuan). 

Misi sosial ini bahkan dimulai dengan pemberian nama terhadap anak, misalnya nama Ahmad, Aisyah, Abdurrahman, Hanifah, Irfan, dsb. Diharapkan nama positif yang disandang anak ini, akan mendorongnya untuk berperilaku sebagaimana dicerminkan nama tersebut. 

Untuk menumbuhkan konsep diri yang positif pada anak-anak, orangtua harus menyadari pentingnya pengetahuan dan keterampilan berkomunikasi, bahkan bila perlu sejak anak masih dalam kandungan. Menurut penelitian yang dilakukan olehUniversitas Prenatal di Amerika Serikat yang didirikan Dr. Rene Van de Carr, seorang ahli kebidanan dan kandungan di Hayward, California, pengajaran atau pelatihan komunikasi terhadap bayi dalam kandungan yang dilakukan orangtua melalui megafon (disebut pregafon) menunjukkan bahwa setelah anak lahir dan tumbuh, mereka mampu berkomunikasi lebih awal, merangkaikan kata-kata lebih dini, dan memahami sesuatu lebih cepat dibandingkan dengan anak sebayanya yang tidak mengikuti "pelatihan" tersebut (Tubbs dan Moss, 1996). 

Ini berarti bahwa spiritualitas anak pun dapat ditumbuhkan sejak anak masih dalam kandungan. Caranya? Perdengarkanlah kepada mereka kalimat-kalimat thayibah, doa-doa, dan bacaan Al Quran, sementara suami-istri, sebagai calon ayah dan ibu pun harus berkomunikasi satu sama lain dengan cara yang santun berdasarkan saling percaya dan kasih sayang.

Jika musik klasik yang diperdengarkan kepada anak dalam kandungan dipercaya dapat meningkatkan kecerdasan anak (bahkan konon berdasarkan penelitian), mengapa kita tidak percaya bahwa bacaan Al Quran dapat pula meningkatkan kecerdasan sekaligus spiritualitas sang anak dalam kandungan.

Tidak mudah untuk menciptakan iklim komunikasi yang kondusif dalam keluarga, juga untuk terampil berkomunikasi dengan anak sendiri sekalipun. Orangtua sering menganggap bahwa komunikasi itu mudah dilakukan, seolah-olah bahwa orangtua sudah dibekali dengan keterampilan alami yang mereka bawa sejak lahir. 

Padahal, baik sebagai pegetahuan ataupun sebagai keterampilan, komunikasi senantiasa terikat oleh ruang dan waktu. Dengan kalimat lain, komunikasi terikat oleh budaya. Oleh karena itu, orangtua perlu memperbaharui pengetahuan dan keterampilan komunikasi dengan menambah pengetahuan dan wawasan mereka lewat bacaan, mengenai bagaimana membina keluarga sejahtera dan bahagia, juga dari sudut pandang psikologi (khususnya perkembangan anak), agama, dan kesejahteraan keluarga pada umumnya. 

Orangtua juga perlu mengamati perkembangan zaman, khususnya yang menyangkut pergaulan manusia, dan juga bertukar pikiran dengan orang lain yang dianggap lebih berpengetahuan dan lebih berpengalaman. 

Komunikasi antarmanusia, bahkan dengan anak-anak, sebenarnya bukan hanya pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga seni bergaul. Salah satu prinsip penting adalah bahwa "kuantitas (seringnya) berkomunikasi tidak menjamin kualitasnya". 


Oleh karena itulah orangtua perlu mempelajari komunikasi terus-menerus, agar orangtua tidak menghadapi kemacetan dalam berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Namun prinsip “kuantitas tidak menjamin kualitas” tidak perlu dijadikan harga mati, sebagai alasan yang dibuat-buat agar sang ibu leluasa mengembangkan karier di luar rumah dengan mengabaikan anak-anak, sehingga mereka terlantar secara sosial. 

Sering orangtua, khususnya ibu, berdalih "Yang penting kualitas komunikasinya bukan kuantitasnya" untuk menutupi rasa bersalah karena kurangnya perhatian mereka kepada anak-anak atau menghabiskan terlalu banyak waktu untuk bekerja di luar rumah. 

Berdasarkan beberapa penelitian, anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian dari orangtua mudah terserang penyakit, menjadi agresif, bahkan memiliki harapan hidup lebih pendek. Kuantitas dan kualitas berkomunikasi sebenarnya bagai dua sisi dari sekeping uang logam. Kuantitas merupakan bagian dari kualitas. Artinya, kuantitas yang memadai sebenarnya merupakan bagian dari kualitas

Salah satu cara untuk menciptakan dan mengembangkan iklim komunikasi yang kondusif adalah dengan memberikan peluang kepada anak-anak, baik putra maupun putri, untuk mengungkapkan diri dan perasaan mereka. 

Di sinilah kuantitas komunikasi menjadi relevan. Lewat pengungkapan diri, anak-anak akan merasa bahwa mereka diperhatikan dan dibutuhkan. Hubungan yang hangat pun akan terjalin antara anak-anak dan orangtua. Ibu, khususnya punya peran penting untuk mendidik anak-anak agar mereka mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. 

Bila para orangtua, khususnya kaum ibu, mampu mengembangkan keterampilan komunikasi mereka dengan anak-anak mereka, sehingga mereka mencapai tingkat empati yang optimal dan mendorong pengungkapan-diri anak yang maksimal, tidak ada kesulitan bagi kedua belah pihak untuk mengomunikasikan topik apa pun, bahkan, topik seksual (misalnya dalam rangka pendidikan seks).

Dipandang dari perspektif remaja sebagai anak, tidak ada risiko apa pun untuk mengungkapkan masalah-masalah yang bersifat pribadi dan sensitif kepada orangtua, bahkan sebenarnya menyehatkan mental, sementara pengungkapan-diri yang sama kepada orang lain (bahkan kawan terdekat sekalipun) selalu mengandung risiko, misalnya dimanfaatkan atau dimanipulasi oleh orang tersebut demi keuntungan atau kesenangannya. 

Pengungkapan-diri mengenai cela diri-sendiri kepada sang pacar, misalnya, boleh jadi justru membuat sang pacar tersebut meninggalkannya. Keterusterangan seseorang mengenai cintanya yang mendalam kepada seorang pacar pun bisa dimanfaatkan oleh sang pacar untuk mengeksploitasinya dengan menuntut hal-hal yang besar dan tidak masuk akal (Rubin, 1973). 

Ringkasnya, hanya apabila orangtua memperlakukan anak-anak mereka sebagai sahabat –selain sebagai anak—mereka dapat membicarakan masalah apa pun dengan anak-anak mereka.

Perasaan yang harus ditumbuhkan kepada anak, bukan hanya rasa hormat, rasa segan, atau rasa takut, tetapi juga rasa dekat dan sayang. Hal ini hanya bisa dilakukan bila orangtua cukup sering kerkomunikasi dengan anak-anak. 

Dengan demikian, anak-anak pun akan menghargai pendapat orangtua dan mematuhi nasihat mereka. Anak-anak tidak akan terlalu menggantungkan pendapat mereka pada kelompok sebaya yang belum berpengalaman, atau dari sumber tidak resmi lainnya yang sering menyesatkan. Karena itu komunikasi orangtua, khususnya ibu, dengan anak-anaknya, haruslah diusahakan cukup intensif dan intim, terutama pada saat anak-anak masih kecil dan juga selagi mereka remaja. 


Oleh: Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D.
Dimuat di MAPI 02.2005

Teori Komunikasi Keluarga


Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia dimana ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial, dalam interaksi dengan kelompoknya. (Kurniadi, 2001: 271). Dalam keluarga yang sesungguhnya, komunikasi merupakan sesuatu yang harus dibina, sehingga anggota keluarga merasakan ikatan yang dalam serta saling membutuhkan. Keluarga merupakan kelompok primer paling penting dalam masyarakat,  yang terbentuk dari hubungan laki-laki dan perempuan, perhubungan ini yang paling sedikit berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Keluarga dalam bentuk yang murni merupakan kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. (Murdok 1949 dikutip oleh Dloyana, 1995: 11).
Menurut Rae Sedwig (1985), Komunikasi Keluarga adalah suatu pengorganisasian yang menggunakan kata-kata, sikap tubuh (gesture), intonasi suara, tindakan untuk menciptakan harapan image, ungkapan perasaan serta saling membagi pengertian (Dikutip dari Achdiat, 1997: 30)
Dilihat dari pengertian di atas bahwa kata-kata, sikap tubuh, intonasi suara dan tindakan, mengandung maksud mengajarkan, mempengaruhi dan memberikan pnengertian. Sedangkan tujuan pokok dari komunikasi ini adalah memprakarsai
dan memelihara interaksi antara satu anggota dengan anggota lainnya sehingga tercipta komunikasi yang efektif.
Komunikasi dalam keluarga juga dapat diartikan sebagai kesiapan membicarakan dengan terbuka setiap hal dalam keluarga baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, juga siap menyelesaikan masalah-masalah dalam keluarga dengan pembicaraan yang dijalani dalam kesabaran dan kejujuran serta keterbukaan (Friendly: 2002; 1)
Terlihat dengan jelas bahwa dalam keluarga adalah pasti membicarakan hal-hal yang terjadi pada setiap individu, komunikasi yang dijalin merupakan komunikasi yang dapat memberikan suatu hal yang dapat diberikan kepada setiap anggota keluarga lainnya. Dengan adanya komunikasi, permasalahan yang terjadi diantara anggota keluarga dapat dibicarakan dengan mengambil solusi terbaik.